Prof. Herlambang: Saat SPDP Polisi dan Semua Berkas Dikembalikan Jaksa Setelah 4 Tahun Herawansyah Ditersangkakan, Seharusnya Penyidik Melakukan SP3 !!!
Indonesiaraja.com, Bengkulu - Dugaan intervensi dan dugaan menakut-nakuti yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Ismail Hakim yang akan melaporkan Penyidik Dit. Reskrimum Polda Bengkulu ke Mabes Polri dan JPU Kejaksaan Tinggi Bengkulu ke Kejaksaan Agung pada hari Selasa (6/9/2022) semakin membuka mata publik akan fakta yang sebenarnya bahwa saat Herawansyah ditersangkakan oleh Penyidik pada Oktober 2018 lalu, diduga alat bukti yang digunakan penyidik masih belum cukup bukti untuk penetapan tersangka.
Diharapkan pihak Divisi Prolam Mabes Polri dapat segera memeriksa penyidik yang menjadikan Herawansyah sebagai tersangka 4 tahun lalu, apa dasar mereka mentersangkakan Herawansyah bukti yang belum cukup untuk menetapkan tersangka sehingga menyebabkan petunjuk dari JPU tidak kunjung dapat dipenuhi hingga saat ini dan menjadi beban bagi penyidik saat ini untuk menyelesaikannya. Pantas untuk diduga bahwa penyidik yang menetapkan Herawansyah sebagai Tersangka 4 tahun lalu tidak profesional.
Hingga kini kasus tersebut menggantung, tidak bisa P-21 karena pihak penyidik tidak bisa memenuhi permintaan JPU akibat alat bukti yang dimiliki penyidik belum cukup bukti untuk penetapan tersangka.
Pada awal Tahun 2022, pihak JPU Kejaksaan Tinggi Bengkulu telah mengembalikan SPDP dan semua berkas perkata kepada Penyidik karena Penyidik berkali-kali tidak mampu memenuhi petunjuk JPU. Setelah SPDP dikembalikan, Bukannya melakukan SP3, penyidik Ditreskrimum Polda Bengkulu bahkan membuat SPDP baru. Setelah itu antara Herawansyahh dan pelapor Ismail Hakim sempat dilakukan konfrontir. Namum kembali dokumen yang dibuat Penyidik Polda Bengkulu di kembalikan JPU, karena Penyidik tidak mampu memenuhi petunjuk JPU.
Dalam berita yang dikutip dari Bencoolentimes.com hari Selasa (6/9 2022), Ilham Patahillah, SH., MH., C.Me., C.NSp, Presiden Kongres Advokat Indonesia, sekaligus Kuasa Hukum Ismail Hakim menyatakan bahwa kasus yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum dengan korban Ismail Hakim ini belum jelas.
“Perkara ini sesuai dengan laporan pads 2017 lalu. Perkara ini dari 2017 sampai sekarang 2022 belum ada kepastian hukum, maka dari itu, atas permintaan dari klien (korban) demi kepastian hukum dan keadilan, kami mempertanyakan kepastian hukum perkara,” kata Ilham Patahillah.
Ilham Patahillah mengungkapkan, pihaknya juga telah menyampaikan surat ke Kapolri karena dalam hal ini Polda Bengkulu yang menangani penyidikan kasus, Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam hal ini jasa Agung Muda Bidang Pengawasan, Kejaksaan tinggi dalam hal ini Asisten Pengawasan
“Inti dari surat yang kita sampaikan itu pada prinsipnya meminta kepastian dan keadilan terhadap perkara yang sudah amat lama dari 2017 hingga sekarang belum ada kepastian hukumnya,” jelas Ilham Patahilah.
Senada dengan Ilham Patahillah, Zetriansyah, SH, Kuasa Hukum Herawansyah berharap, karena bulan Oktober 2022 nanti perkara ini sudah masuk 4 tahun kliennya sebagai tersangka, Zetriansyah juga meminta kepastian hukum, dalam hal ini meminta agar perkara ini dapat di SP3 kan karena sudah mencapai 4 tahun tanpa kepastian hukum dan setiap berkas diserahkan ke JPU selalu P-19 akibat tidak cukup bukti.
“Kita telah menghubungi Dit Reskrimum Polda Bengkulu dan kita mendukung penyidik Dit. Reskrimum Polda Bengkulu agar kasus ini dapat di SP3 kan karena kasus yang dilaporkan oleh Ismail Hakim ini sudah berjalan 4 tahun namun pihak penyidik tidak mampu memenuhi petunjuk JPU. Kalau memang petunjuk JPU tidak bisa dipenuhi, alangkah baiknya kasus ini di SP3 kan saja. Apalagi Herawansyah selama 4 tahun ini selalu wajib lapor setiap Senin dan Kamis. Beliau juga manusia, mau berusaha dan bekerja untuk memberi nafkah bagi anak dan istrinya, masa harus wajib lapor terus. 4 tahun itu sama dengan ancaman kasus ini,” kata Zetriansyah.
Mengamati kasus antara Ismail Hakim dan Herawansyah yang menggantung selama 4 tahun ini, Prof. Dr. Herlambang, SH., M.H, ahli Hukum Pidana dari Fakuktas Hukum Universitas Bengkulu merasa prihatin atas ditersangkakannya Herawansyah selama 4 tahun ini tanpa kepastian hukum yang jelas.
“Memperhatikan perjalanan perkara ini yang bolak balik antara penyidik ke Penuntut Umum dan saya mendengar pernah 2 kali dikirim SPDP karena pada SPDP yang pertama penyidik belum memenuhi petunjuk Penuntut Umum sehingga pada batas waktu tertentu Penuntut Umum mengembalikan semua SPDP dan berkas perkara. Atas dasar hal tersebut, saya menilai peroses awal penetapan tersangka terjadi minimnya alat bukti sehingga dalam proses selanjutnya, Penuntut Umum kesulitan untuk membawa perkara ini ke Pengadilan,” kata Prof. Herlambang.
“Melihat perjalan perkara yang sudah 4 tahun lebih ini mestinya harus ada ketegasan dari penegak hukum untuk memutuskan, jika tidak bisa dilanjutkan maka harus dihentikan. Karena apabila berlarut-larut akan merugikan hak-hak tersangka dalam segala hal, disamping itu perlunya ada kepastian hukum,” pungkas Prof. Herlambang.
Jaksa Agung Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M Ancam JPU: Jangan Memaksakan Suatu Perkara Untuk Dinyatakan Lengkap atau Gegabah Mengeluarkan P-21 Apabila Ada Petunjuk Yang Belum Dipenuhi Oleh Penyidik.
Pemenuhan petunjuk jaksa penuntut umum/peneliti berkas perkara oleh penyidik merupakan suatu keharusan hal ini juga untuk mencegah kriminalisasi perkara dan penggiringan opini yang memaksa JPU untuk melakukan P-21 terhadap perkara yang belum lengkap sebagaimana petunjuk JPU.
Sepertinya saat ini dirasakan adanya siasat tertentu dari penyidik terkait bolak balik berkas perkara atau SPDP. Setelah berkas perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum, mereka, para penyidik sepertinya menunggu momen yang tepat untuk mengirim kembali SPDP baru dan berkas perkara yang ada (berkas perkara lama), dan berharap Jaksa dan pimpinannya berganti dengan Jaksa yang baru dengan pemikiran yang baru, sehingga bisa di P-21. Padahal berkas perkara yang dikirim tidak ada perubahan berkaitan dengan pembuktian alias berkas perkara lama. Dan hal ini sudah diketahui oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Untuk mencegah kriminalisasi perkara sejalan dengan pengarahan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di Kejaksaan Tinggi Jambi, Senin (10/1/2022). Sanitar Burhanuddin mengingatkan JPU bahwa karena Jaksa memiliki peran asas dominus litis, dimana dalam hal ini sebagai pengendali perkara dan satu-satunya institusi yang dapat menentukan apakah suatu perkara dapat diajukan ke tahap penuntutan atau tidak.
“Jangan memaksakan suatu perkara untuk dinyatakan lengkap atau gegabah mengeluarkan P-21 apabila ada petunjuk yang belum dipenuhi oleh Penyidik,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Senin (10/1/2022).
Sejak adanya Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 3/E/Ejp/11/2020 tentang Petunjuk Jaksa (P-19) pada prapenuntutan seharusnya dilakukan satu kali dalam penanganan perkara tindak pidana umum, maka petunjuk yang diberikan harus lengkap. Termasuk jika diperlukan dapat dilakukan penuntutan bebas terhadap perkara yang dianggap tidak cermat dalam proses prapenuntutan.
“Bagi para Jaksa yang perkaranya dianggap tidak cermat dalam proses prapenuntutan Jaksa Agung pastikan akan dilakukan evaluasi. Oleh karena itu jangan coba-coba lagi sembarangan atau gegabah mengeluarkan P-21,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Sebagai catatan :
Perkara itu dikatakan ttidak lengkap jika :
1. Penyidik belum maksimal menemukan alat bukti
2. Alat bukti belum ditemukan setelah diupayakan
3. Alat bukti memang tidak bisa ditemukan atau ditemukan tapi tidak dapat membuktikan tidak pidana
Apabila terjadi nomor 3 di atas, maka harus SP.3. (AZX)
- 493305 views